Di era digital ini, istilah “wibu” telah menjadi semakin populer di kalangan generasi muda. Sebutan ini merujuk pada individu yang memiliki kecintaan mendalam terhadap budaya Jepang, terutama anime, manga, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan subkultur otaku. Di sisi lain, ada “pria” yang secara umum mengacu pada stereotip maskulinitas tradisional yang diharapkan oleh masyarakat. Meskipun kedua istilah ini sering kali dianggap berada di ujung spektrum yang berbeda, kenyataannya, ada banyak hal menarik yang dapat dieksplorasi dari hubungan antara pria dan wibu.
Mengenal Istilah Wibu
“Wibu” berasal dari kata “weeaboo,” sebuah istilah slang yang digunakan untuk menggambarkan orang non-Jepang yang sangat terobsesi dengan budaya Jepang. Istilah ini memiliki konotasi negatif, mengacu pada seseorang yang mencoba mengadopsi budaya Jepang secara berlebihan dan terkadang tidak sesuai dengan konteks. Namun, seiring berjalannya waktu. istilah ini telah mengalami pergeseran makna dan sekarang banyak digunakan dengan nada yang lebih netral atau bahkan positif, terutama di kalangan para penggemar anime dan manga.
Wibu seringkali dicirikan oleh pengetahuan mendalam mereka tentang berbagai aspek budaya pop Jepang, mulai dari serial anime terbaru, manga, video game, hingga musik J-pop dan J-rock. Mereka tidak hanya menikmati konsumsi produk-produk ini, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam komunitas online, menghadiri konvensi anime, dan bahkan mengenakan cosplay sebagai bentuk ekspresi diri.
Maskulinitas dan Stereotip Pria
Di sisi lain, “pria” sering kali dikaitkan dengan stereotip maskulinitas yang telah terbentuk selama berabad-abad. Stereotip ini mencakup harapan bahwa pria harus kuat, tangguh, tidak emosional, dan lebih tertarik pada aktivitas fisik atau pekerjaan yang dianggap “maskulin” seperti olahraga, perbaikan mekanis, atau pekerjaan konstruksi. Namun, di era modern, definisi tentang maskulinitas semakin berkembang dan menjadi lebih inklusif, memungkinkan pria untuk mengeksplorasi minat dan hobi yang mungkin sebelumnya dianggap tidak konvensional.
Kami berbincang dengan Arya, mahasiswa teknik sekaligus cosplayer. “Di sekeliling saya rasanya sulit jadi diri sendiri, bahkan sering ngerasa ga pede. Lewat cosplay, saya bebas jadi diri sendiri bareng temen temen lainnya juga,” ujarnya.
Ketika Pria Menjadi Wibu
Menariknya, banyak pria yang menemukan kepuasan dan kebahagiaan dalam subkultur wibu. Mereka tidak hanya menikmati anime dan manga, tetapi juga menemukan komunitas yang menerima mereka apa adanya, tanpa harus memenuhi ekspektasi maskulinitas tradisional. Bagi sebagian pria, menjadi wibu adalah cara untuk melarikan diri dari tekanan sosial dan menemukan tempat di mana mereka dapat menjadi diri sendiri tanpa rasa takut dihakimi.
Salah satu contohnya adalah Ikhsan. Sejak kecil, Ikhsan sudah tertarik dengan anime seperti “Dragon Ball” dan “Naruto.” Namun, minat ini sering kali ditutupi karena takut dianggap aneh oleh teman-temannya. Seiring bertambahnya usia dan dengan adanya akses internet, Ikhsan bertemu komunitas online yang berbagi kecintaannya terhadap anime. “Jadi wibu bikin saya ngerasa bebas buat mengekspresikan diri dan ketemu teman-teman yang punya hobi sama,” kata Ikhsan.
Tantangan dan Stereotip
Meskipun ada banyak pria yang menikmati menjadi wibu, mereka sering kali menghadapi tantangan berupa stereotip dan stigma. Di satu sisi, mereka mungkin dianggap kurang maskulin atau bahkan kekanak-kanakan karena minat mereka terhadap anime dan manga. Di sisi lain, mereka juga bisa merasa terasing dari komunitas wibu jika tidak sepenuhnya menyesuaikan diri dengan stereotip otaku yang ada.
Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan hobi mereka tanpa harus terjebak dalam ekspektasi sosial. Pria yang menjadi wibu adalah bukti bahwa maskulinitas bukanlah sesuatu yang statis, tetapi bisa berubah dan berkembang seiring waktu.
Baca juga berita lainnya! Medieval MMA dari Rusia: Gabungan Sejarah dan Seni Bela Diri Modern
Kesimpulan
Pria dan wibu mungkin tampak seperti dua dunia yang berbeda, tetapi kenyataannya, ada banyak persamaan dan titik temu di antara keduanya. Di era digital ini, semakin banyak pria yang merasa nyaman untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap budaya pop Jepang tanpa rasa takut dihakimi. Dengan semakin terbukanya definisi tentang maskulinitas dan identitas, kita dapat melihat bahwa menjadi wibu adalah salah satu cara bagi pria untuk menemukan kebahagiaan dan komunitas yang menerima mereka apa adanya.
Penulis : Anggito Wibisono/Mascoolin